Sunday, September 19, 2010

Anggota DPR Tak Perlu Bawa Istri Studi Banding ke Luar Negeri

Media Monitoring, Analysis and Tracking, Information System Consultant, Software-Web Develoment and Maintenance,Computer Network Supply and Installation, Purchasing Service
Cakrajiya Ciptana (CCi)
http://www.cc-indonesia.com

Kegiatan studi banding para anggota DPR kini menjadi sorotan publik karena biaya yang cukup mahal. Anggota DPR diminta tak membawa keluarga dalam studi banding, dan tidak lama-lama berada di luar negeri.

Menurut Pengamat Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Anggito Abimanyu, studi banding harus dilakukan dengan persiapan matang agar tidak terlalu berlama-lama berada di luar negeri.

"Harus dengan persiapan korespondensi, literatur, email, dan persiapan pertanyaan. Jadi 2 hari saja bisa pulang. Yang jelas, waktu saya studi banding dulu, saya nggak pernah ngajak istri, 3-4 orang saja cukup," ujarnya saat ditemui di Kantor Menko Perekonomian, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta, Senin (20/9/2010).

Anggito mengatakan studi banding yang dilakukan DPR harus diverifikasi. Sebab selama ini studi banding yang dilakukan oleh Anggota DPR belum ada yang memverifikasi. Hal ini berbeda dengan studi banding yang dilakukan pemerintah, baik anggaran maupun hasilnya selalu diverikasi oleh DPR.

"Pemerintah kan selama ini ada (yang memverifikasi), DPR nggak ada yang memverifikasi," ungkapnya.

Oleh sebab itu, lanjut Anggito, diperlukan verifikasi atas semua anggaran dan kegiatan yang dilakukan para anggota dewan, termasuk anggaran untuk studi banding.

"Ada baiknya memverifikasi. Pemerintah kan ke DPR, kalau DPR mungkin ada mekanismenya tersendiri. Kalau ke BPK dan BPKP kan post audit," jelasnya.

Sejauh ini, ujar Anggito, Pemerintah hanya bisa mengoreksi anggaran yang dibutuhkan DPR. Pengoreksian ini dilakukan oleh Ditjen Anggaran Kementerian Keuangan.

"Pemerintah hanya bisa mengoreksi satuan biaya saja. Sistem programnya yang tidak dibintangin tapi satuan biayanya yang dibintangin. Kalau semua kegiatan DPR itu pakai APBN, nggak ada dana pribadi," ujarnya.

Menurut Anggito, studi banding bisa saja dilakukan untuk menambah pengetahuan mengenai suatu hal, termasuk sistem OJK (Otoritas Jasa Keuangan) yang sudah diterapkan di beberapa negara. Cara ini dilakukan di samping melakukan studi literatur, internet, atau mendatangkan ahli dari luar negeri.

"Kalau untuk OJK tergantung, efektif sih kalau programnya dirancang dengan baik dan tujuannya jelas. Bisa kunjungan ke sana, bisa internet atau tenaga ahli. Tiga-tiganya sama. Saya berapa kali ke Australia untuk studi mengenai BKF (Badan Kebijakan Fiskal). Bahkan sama Bu Menteri (Sri Mulyani). Ke Korea belajar early warning system. Tidak apa-apa asal proper, jangan tujuannya apa, tapi perginya ke mana," sindirnya.

Anggito menilai untuk studi banding mengenai OJK, sebaiknya negara tujuan merupakan negara yang menerapkan OJK dan negara yang tidak menerapkan sistem tersebut.

"Jadi 1 yang melaksanakan, 1 yang tidak melaksanakan. Korea, Jepang, Amerika Serikat itu kan melaksanakan. Inggris yang mengembalikan ke fungsi bank sentral.

Sumber

No comments:

Post a Comment