Tuesday, August 24, 2010

Politik Selebriti dan Paradoks Demokrasi

Media Monitoring, Analysis and Tracking, Information System Consultant, Software-Web Develoment and Maintenance,Computer Network Supply and Installation, Purchasing Service

Cakrajiya Ciptana (CCi)

http://www.cc-indonesia.com




ARTICLE CLIPPINGS

Media : www.harian-global.com

Date : Thursday, May 20, 2010

Url : http://www.harian-global.com/i...

Tone : Neutral



Panggung politik Indonesia tidak pernah sepi dari hingar-bingar dinamika yang menyertainya. Politik selebriti kian ramai diperbincangkan dan kerap kali menjadi menu hangat yang tak ada habis-habisnya dalam pemberitaan media massa. Baik cetak maupun elektronik.

Kehadiran artis dalam dunia politik mengundang decak kagum. Tapi, juga tidak sedikit yang menentangnya. Itulah manifestasi pelaksanaan demokrasi.

Dalam alam demokrasi siapa pun mempunyai hak untuk berekspresi. Tak terkecuali artis dalam politik. Tak seorang pun yang bisa melarang apalagi menjegal selebriti untuk terjun dalam politik. Bagi yang menjegal bisa jadi mereka akan dianggap bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi (baca: melanggar HAM) yang mengagungkan kebebasan. Meskipun kebebasan tersebut tentu mempunyai batasan.

Contoh yang paling aktual adalah penentangan yang datang dari Ketua Umum Asosiasi Konsultan Politik Indonesia (AKPI) Denny JA terhadap usulan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi untuk memasukan syarat 'tidak cacat moral' bagi seseorang yang akan maju dalam Pemilihan Kepala Daerah dalam revisi UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Deny JA menyarankan pemerintah untuk tidak membuat kebijakan yang dapat membatasi hak warga negara untuk menjadi kepala daerah. Menurut dia menjadi kepala daerah adalah hak yang dijamin oleh konstitusi UUD 1945 dan hak asasi universal. Usulan Mendagri tersebut dalam rangka merespon maraknya artis yang turut serta dalam pilkada yang disinyalir beberapa di antaranya tidak layak untuk dicalonkan karena mempunyai rekam jejak yang tidak baik (contoh: terlibat dalam video porno dan semacamnya).

Terlepas dari persoalan cacat moral yang debatable tersebut, menurut hemat penulis, rame-ramenya artis maju dalam pilkada memang bisa membuat blunder roda pemerintahan. Saat ini kita semua diperhadapkan dengan pesona artifisial yang kalau mau dicermati lebih jauh sebetulnya bisa membuat tidak hanya mandulnya roda pemerintahan. Akan tetapi juga ketidakpastian arah demokrasi.

Harus diakui popularitas tengah menyihir idealisme menjadi pragmatisme bagi politisi kita. Popularitas bak opium yang memabukan. Ironisnya banyak elit politik juga larut dalam jurus mabuk popularitas tersebut.

Pertanyaan yang layak diajukan dalam konteks ini adalah mengapa partai politik begitu semangat mengajukan selebiriti sebagai calon bupati/ wakil bupati serta cagub/ cawagub? Betulkah popularitas bisa memberi garansi bagi selebriti untuk memenagi pertarungan politik?

Pragmatisme Politik Kekuasaan

Tak dapat dipungkiri kehadiran artis dalam panggung politik praktis memang membawa berkah tersendiri. Setidaknya dalam jangka pendek partai politik akan mendapat insentif yang luar biasa besar apabila jago artis yang mereka usung memenangi pertarungan.

Dengan popularitas yang dimiliki artis memang memiliki daya tarik tersendiri. Sebab, mereka akan lebih mudah dikenal kalangan luas. Peran mereka dalam berbagai media ketika bernyanyi, berakting baik dalam sinetron maupun layar lebar ditambah lagi dengan blow up besar-besaran melalui infotainmen adalah metode efektif bagaimana artis akan lebih mudah dikenal publik.

Fakta ini menemukan relevansinya ketika belakangan politik pencitraan semakin digandrungi banyak orang terutama dalam jagad politik praktis. Realitas ini pula yang pada gilirannya menarik perhatian partai politik di Indonesia untuk meminang para artis.

Dengan modal popularitas serta finansial yang cukup memadai artis bak dewa dan dewi penolong bagi partai politik. Partai politik yang tengah mengalami kebangkrutan publik figur atau kader andal serta tidak mempunyai modal finasial yang kuat banyak merasa diuntungkan.

Di satu sisi mereka tidak susah-susah mengeluarkan modal banyak untuk mengusung calon. Pada sisi yang lain mereka membutuhkan figur dengan elektabilitas tinggi dan ditokohkan untuk melaju dalam proses pencalonan kepala daerah. Alhasil kebutuhan untuk memenangi pertarungan disertai dengan kepentingan untuk mendapatkan finansial membuat partai politik rame-rame menarik artis dalam pentas politik praktis.

Fenomena di atas (pertimbangan popularitas serta modal uang artis yang cukup banyak) dengan jelas memperlihatkan bahwa partai politik lebih mengutamakan kepentingan pragmatis daripada kepentingan rakyat secara menyeluruh. Mereka tidak sadar bahwa pelan tapi pasti idealisme partai sedang tergadaikan.

Hal ini beralasan sebab kebanyakan artis yang direkrut untuk maju menjadi calon adalah mereka yang awam akan pengetahuan dan pengalaman politik. Padahal jamak diketahui bahwa dunia politik penuh teka-teki dan teramat kompleks.

Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan sebab kualitas pemerintahan kemudian dipertaruhkan. Hal tersebut merupakan konsekwensi logis dari kualitas pemimpin yang terbentuk secara instan.

Memilih pemimpin (artis) tanpa mengetahui rekam jejaknya justru akan menimbulkan efek yang sangat berbahaya (political hazard). Roda pemerintahan bisa terancam kacau balau. Hal ini menjadi nyata sebab pemimpin tidak bisa menjalankan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya dikarenakan minim pengetahuan dan pengalaman.

Lebih tragis lagi pelaksanaan demokrasi semakin tidak mempunyai makna yang jelas. Alih-alih memberi kebebasan kepada setiap warga negara untuk menjadi pemimpin sebaliknya kualitas demokrasi justru dipertaruhkan. Kondisi inilah yang pada gilirannya menyebabkan paradoks demokrasi.

Mandulnya Regenerasi Partai Politik

Setali tiga uang. Rame-ramenya partai politik mengusung artis merupakan cermin mandegnya regenerasi dalam partai politik. Partai politik tampak kehilangan fungsinya sebagai institusi yang bertanggung jawab terhadap program kaderisasi (pendidikan politik) dan indoktrinasi (penanaman idiologi) terhadap kader-kadernya.

Minimnya kader yang idiologis dan kapabel adalah fakta yang tidak bisa dibantah. Sejatinya partai politik harus mempersiapkan sedini mungkin tokoh-tokoh partai yang akan menduduki pos-pos strategis dalam pemerintahan baik dalam lembaga legislatif maupun eksekutif. Sebaliknya bukan malah meminang artis yang belum jelas rekam jejaknya untuk maju dalam proses perebutan kekuasaan.

Meminang artis adalah hak politik partai. Namun demikian mengajukan artis yang tidak pernah belajar politik dan tidak pernah terjun dalam organisasi masyarakat maupun politik justru akan semakin mengkerdilkan partai politik itu sendiri.

Sudah saatnya partai politik merumuskan kembali sistem kaderisasi yang efektif dan efisien. Hal ini penting dilakukan jika partai politik tidak ingin kehilangan kepercayaan publik. Yang lebih penting dari itu adalah partai akan merasa siap (ready to play) kapan pun dan di mana pun untuk mengusung calon sendiri yang dinilai kapabel, popular, dan teruji integritasnya.

Dengan demikian sudah saatnya partai politik mengedepankan idealisme untuk tidak hanya mempertimbangkan popularitas semata. Melainkan kualitas calon (artis) juga harus menjadi prioritas dalam menjaring bakal calon pemimpin. Tidak kalah penting kaderisasi terhadap anggota partai politik jauh lebih urgen sehingga partai politik tidak mengalami delegitimasi.



No comments:

Post a Comment