Cakrajiya Ciptana (CCi)
http://www.cc-indonesia.com
ARTICLE CLIPPINGS | ||
Media : www.tempointeraktif.com | | Date : Monday, March 15, 2010 |
| Tone : Neutral |
Pada 20 Februari sembilan tahun silam, Eka Julianta Wahjoepramono tak bisa menutupi kegugupannya melihat batang otak Ardiansyah. Sejak lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, baru kali ini Eka menghadapi batang otak manusia bernyawa. Dokter bedah saraf ini terdiam sejenak sebelum mengiris tumor sebesar anggur yang bersemayam di dalam batang otak itu. Operasi itu berlangsung hanya empat jam, tapi Eka merasa bertahun-tahun berada di kamar operasi Rumah Sakit Siloam, Tangerang, Banten. Setelah berhasil mengangkat tumor dari batang otak, pemilik nama kecil Tjio Tjay Kian itu ditahbiskan sebagai pakar bedah saraf, tidak hanya di Indonesia tapi juga di dunia internasional. Perguruan tinggi kaliber internasional, seperti Universitas Harvard, Amerika Serikat; Universitas Toronto, Kanada; dan Universitas Melbourne, Australia, mengundangnya untuk memberi kuliah tentang bedah saraf. Ketiganya memberikan gelar visiting professor kepada Eka. Edward R. Laws dari Fakultas Kedokteran Universitas Harvard, yang menjadi Presiden World Federation of Neurosurgical Societies XIII (Federasi Bedah Saraf Dunia), menilai Eka sebagai dokter luar biasa karena mempunyai ilmu membedah batang otak. Selama ini operasi batang otak tak pernah dilakukan karena berisiko mengakibatkan kematian. Namun Eka berhasil melakukannya dan Ardiansyah, pasiennya, tetap bernapas hingga sekarang. Guru besar dan ahli bedah saraf dari Taiwan, Yong Kwang Tu, juga mengagumi Eka. Menurut Kwang Tu, keahlian Eka diraih berkat keuletannya sendiri tanpa didampingi oleh seorang ahli bedah saraf. Pitan Daslani, wartawan senior di harian Jakarta Globe, dalam bukunya Tinta Emas di Kanvas Dunia, menuliskan biografi Eka. Pitan memulai kisah Eka sejak terseok-seok masuk jurusan kedokteran di beberapa perguruan tinggi negeri di Indonesia. Kesulitan ekonomi yang mengimpit orang tua Eka di Kampung Pondok, Klaten, Jawa Tengah, telah menempanya menjadi petualang ilmu. Ambisi yang kuat mengantarkan Eka meraih sukses dan pujian dari kalangan medis seantero dunia. Melalui buku ini, Pitan ingin menunjukkan bahwa Indonesia punya prestasi bidang kedokteran di kancah dunia. Kesuksesan Eka menjadi jawaban Pitan membalikkan rumor-rumor yang menyebutkan bahwa dunia kedokteran Indonesia tertinggal dari negara lain. Pitan sekaligus menunjukkan, untuk menjadi dokter kaliber internasional, tidak harus bersekolah di kampus mahal dan dibimbing oleh seorang pakar kelas internasional. Ditulis dengan kata-kata sederhana, Pitan secara perlahan menceritakan kesulitan Eka sejak kecil. Enam dari 16 bab isi buku menceritakan perjuangan keras Eka. Mulai ditolaknya ayah tiga anak itu di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, setamat sekolah menengah atas hingga akhirnya diterima di Universitas Diponegoro, Semarang. Pitan menggambarkan Eka sebagai sosok yang biasa-biasa saja dalam pendidikan. Saat sekolah menengah pertama, ia pernah mendapatkan nilai 3 dari skala 10 untuk pelajaran matematika. Namun Pitan kurang urut dalam menyusun bab. Cerita mengenai Eka dan keluarganya tidak disatukan di awal. Tema tentang keberhasilan operasi juga kurang banyak. Hanya dua operasi yang diceritakan dengan detail dan menggambarkan perasaan Eka saat itu, yakni kegembiraan dan kesedihan. Padahal pengalaman Eka sebagai dokter bedah pasti memiliki banyak cerita operasi yang menarik. Salah satu yang menegangkan adalah ketika Eka dituduh melakukan malpraktek dan diadukan ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Dia dan manajemen rumah sakit dituntut sebesar Rp 200 miliar. Sayang, Pitan tidak tuntas menceritakan akhir tuntutan ini. Tidak hanya menunjukkan kegigihan Eka, Pitan juga menunjukkan bahwa Eka pintar memanfaatkan situasi. Terutama saat dokter yang berusia 52 tahun itu kesulitan mendapatkan pendidikan spesialis bedah. Itu dimulai dari pilihan Eka menjadi dokter puskesmas di pedalaman Kalimantan Tengah agar cepat melanjutkan ke pendidikan spesialis. Eka juga memanfaatkan katebelece mertuanya, dokter bedah di Rumah Sakit Kariadi, Semarang, untuk mendaftar kuliah spesialis di Universitas Diponegoro; Universitas Airlangga, Surabaya; dan Universitas Padjadjaran, Bandung. Buku ini juga menampilkan sosok Eka yang "menggunakan" dosennya di Universitas Padjadjaran, Iskarno, agar memperoleh pendidikan bedah di luar negeri. Eka tak sungkan-sungkan membujuk Iskarno, yang teman mertuanya, bertemu dengan Duta Besar Jerman untuk melancarkan mengambil pendidikan bedah di Jerman. Hal serupa dilakukan saat mendapatkan pendidikan di Jepang. Sebagai ahli bedah saraf, Eka tergolong hebat karena kala itu ia baru mengenyam pendidikan strata II. Pendidikan doktor baru ia peroleh dari Universitas Hasanuddin, Makassar, tahun lalu. Pengabdiannya di dunia pendidikan ia teruskan dengan menjadi Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan, Jakarta. Buku ini juga dilengkapi testimoni dari ahli bedah beragam negara serta foto-foto Eka saat memberikan kuliah dan seminar di berbagai universitas ternama.
No comments:
Post a Comment